Selasa, 09 April 2013

Konsep Filsafat Menurut Al-Kindi


A    Riwayat Hidup Al-Kindi
Nama Al-Kindi merupakan nisbat yang menjadi asal cikal bakal Banu Kindah. Banu Kindah merupakan suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan dikagumi banyak orang.
Nama Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia dilahirkan pada tahun 185 H (801 M) di Kuffah. Ayah Al-Kindi seorang gubernur pada masa Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid yang bernama Ishaq Ash-Shabbah. [1]
Al-Kindi merupakan keturunan bangsawan Arab dari kerajaan Kinda (Yaman). Pada masa kecilnya, ia menuntut ilmu di Bashrah. Kemudian, ia tumbuh dan dibesarkan di Baghdad sampai akhir hayatnya.
 Saat Al-Kindi berusia sembilan tahun, kholifah Harun Al-Rasyid mendirikan, Bait Al-Hikmah (balai ilmu pengetahuan). Namun, pada tahun 193 H, khalifah Harun Al-Rasyid wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Al-Amien. Setelah Al-Amien meninggal dunia, masa pemerintahan digantikan oleh saudaranya, Al-Makmun. Dan pada masa inilah, ilmu pengetahuan berkembang pesat melalui penerjemahan kitab-kitab Yunani dan menghubungkannya dengan ilmu keislaman. Dan pada masa inilah, Al-Kindi memperoleh kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
B.     Karya-karya Al-Kindi
Sebagai seorang filsuf Islam, Al-Kindi tidak hanya menulis satu karya melainkan lebih dari 230 buah. Diantaranya:
1.      Kitab Al-KIndi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al Ula
2.      Risalah fi Hudud al-Assya’ wa Rusumiha
3.      Kitab fi Ma’iyyah al-‘illm wa Aqsamihi
4.      Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam
5.      Kitab fi ibarah al-jawami’ al-Fikriyah
C.     Pandangan Al-Kindi Terhadap Filsafat
Al-Kindi meninjau filsafat dari dua sisi, yaitu luar dan dalam. Dengan tinjauan dari dalam, Al-Kindi bermaksud mengikuti filosof-filosof besar tentang pengertian filsafat seperti Aristoteles dan Plato. Sedangkan dari segi luar, Al-Kindi bermaksud mendefinisikan sendiri pengertian filsafat. Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia dan tertinggi martabatnya.
Berdasarkan definisi ini, Al-Kindi menambahkannya nilai keutamaan. “Filsuf adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya, yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil” [2]
D.     Arah Filasafah Al-Kindi
Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Maka, wajar jika Al-Kindi menyeru kepada kaum muslim untuk menerima filsafat sebagian dari kebudayaan Islam. Maka, berdasarkan hal ini, sejarawan arab menyebutnya “Filsuf Arab”. Memang, gagasan-gagasan yang dimiliki Al-Kindi diperoleh dari Aristotelianisme Neo-Platonis, namun ia meletakkan gagasan-gagasannya dalam bentuk baru. Yang mana, Al-Kindi menempatkan tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa filsafat sebagai suatu studi menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu. Maka, tak mengherankan apabila Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd mulanya menjadi ilmuwan kemudian menjdi filsuf.
Batasan filsafat, dalam risalah Al-Kindi tentang filsafat awal, menyebutkan, “Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Hal ini karena tujuan para filsuf dalam berteori ialah mencapai kebenaran dan tujuannya dalam berpraktik ialah menyesuaikan dengan kebenaran”
Ruang lingkup filsafat dalam pandangan Al-Kindi, sebagaimana dikutip dari Rosenthal, terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu studi-studi teoritis dan studi-studi praktis. Studi-studi teoritis yakni fisika, matematika, dan metafisika; dan studi-studi praktis, yaitu etika, ekonomi, dan politik. Al-Kindi mengklasifikasikannya sebagai berikut, ‘Teori dan praktik merupakan awal kebajikan. Masing-masing dibagi menjadi fisika, matematika, dan teologi. Praktik dibagio menjadi bimbingan diri, keluarga, dan masyarakat.[3]
Al-Kindi mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran, sedangkan agama berdasarkan wahyu. Kesimpulannya, Al-Kindi adalah filsuf pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia memeberi jalan luas kepada Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ia ,memberikan dua pandangan berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika dan memfilsafatkan agama. Kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi. Akan tetapi, melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.
E.      Filsafah Al-Kindi
Sebagai seorang filosofis, Al-Kindi berhasil memadukan filsafat Yunani dan filsafat keislaman. Sehingga sampai saat ini, ratusan karyanya menjadi literature bagi dunia kefilsafatan. Diantaranya:
 1.      Falsafah Ketuhanan
Sebagaimana halnya dengan filsuf-filsuf Yunani dan filsuf-filsuf Islam lainnya, Al-Kindi merupakan ahli ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)      Pengetahuan Ilahi
Yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b)      Pengetahuan Manusiawi atau falsafat
Dasarnya ialah pemikiran
Menurut Al-Kindi, filsafat ialah pengetahuan untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Maka, disinilah letak persamaan falsafah dengan agama. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Begitu pula dengan filsafat. Agama (di samping wahyu), selain menggunakan akal dan falsafah, juga menggunakan akal. Maka, menurut Al-Kindi yang Benar Pertama atau the First Truth ialah Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah wujud yang benar. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan, adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang lain.
Al-Kindi mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu:
                                I.            Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, jadi wajib ada yang menciptakannya dari ketiadaan dan pencipta itulah Tuhan.
                              II.            Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau keseragaman tanpa keragaman. Tergabungnya keragaman dan keseragaman bersama-sama, bukanlah karena kebetulan, tetapi sesuatu sebab. Sebab pertama itulah Tuhan.
                            III.            Kerapian alam tak mungkin terjadi tanpa ada yang merapikan (mengaturkan)nya. Yang merapikan atau yang mengaturkan alam nyata itulah Tuhan.
Di samping itu, Al-Kindi juga membuktikan wujud Tuhan dengan menggunakan tiga jalan:
                                I.            Barunya alam, ala mini baru dan ada permulaan waktunya, karena ala mini terbatas, oleh karena itu yang menyebabkan ala mini tercinta, dan tidak mungkin ada suatu benda yang ada dengan sendirinya. Maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.
                              II.            Keanekaragaman dalam wujud (katsrah fit mawjudat). Keanekaragaman disini adalah ada yang menyebabkan, atau ada sebab. Sebab itu bukanlah alam itu sendiri tetapi sebab yang berada di luar alam atau lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu keberadaannya karena sebab harus ada sebelum akibat (ma’lulu; effect)
                            III.            Kerapian alam, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali adanya zat yang tidak tampak. Dan zat yang tidak tampak itulah, hanya dapat diketahui melalui bekasNya.[4]
2.      Falsafah Jiwa
Menurut Al-Kindi, hubungan roh dengan Tuhan sama halnya hubungan cahaya dan matahari. Roh berbeda dengan badan. Argument yang digunakan Al-Kindi tentang perbedaan roh dan badan ialah keadaan badan yang mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah. Hanya dengan rohlah, manusia bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Sebab, ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan pancaindera hanya mengenai yang lahir-lahir saja. Sedangkan pengetahuan akal, merupakan hakikat dan hanya bisa diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat, ia harus melepaskan dirinya dari sifat kebinatangan.
Caranya ialah dengan meninggalkan sesuatu yang bersifat duniawi. Dengan kata lain, ia harus bersifat zahid. Apabila roh meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keinginan badan, bersih dari segala kematerian, dan senatiasa berpikir tentang hakikat-haklikat wujud, maka ia menjadi suci dan dapat menangkap segala hakikat atau kebenaran, layaknya cermin yang dapat menangkap gambaran benda yang ada di depannya.
Pengetahuan dalam hal ini merupakan emanasi. Sebab, roh adalah cahaya dari Tuhan maka ia dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Akan tetapi, apabila roh kotor, sebagaimana halnya dengan cermin yang kotor, maka ia tidak bisa menangkap gambaran-gambaran yang dipancarkan oleh Tuhan.
Roh bersifat kekal. Dan tidak akan hancur meskipun badan hancur. Sebab roh berasal dari substansi Tuhan. Selama ada di dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sempurna dan pengetahuan yang sebenarnya. Barulah, ketika ia berpisah dengan badan (meninggal dunia), ia akan kembali kepada Tuhan, dekat denganNya, dan memperoleh pengetahuan yang sesungguhnya. Dan disinilah letak kesenangan abadi dari roh.
3.      Filsafat Pengetahuan
Manusia memiliki 3 macam pengetahuan, yaitu:
a.      Pengetahuan Indrawi
Pengetahuan ini tejadi ketika orang mengamati suatru objek material dan dalam proses tanpa tenggang waktu dan kemudian berpindah ke imajinasi dan ditampung ke sebuah tempat yang disebut Hafizah. Pengetahuan ini selalu berubah.
b.      Pengetahuan Rasional
Pengetahuan yang diperoleh dengan mempergunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Objek pengetahuan ini bukanlah individu, melainkan genus dan species.
c.       Pengetahuan Israqi
Pengetahuan yang diperoleh langsung dari pancaran cahaya Ilahi. Pengetahuan seperti ini diperoleh oleh para nabi tanpa bersusah payah sebab pengetahuan ini terjadi atas kehendak Tuhan.
F.      Pandangan Tentang Etika
Etika berhubungan erat dengan definisi filsafat atau cita filsafat yaitu agar manusi memiliki keutamaan yang sempurna, dan juga sebagai latihan untuk mati. Dalam arti, kita membunuh hawa nafsu.
Keutamaan-keutamaan itu merupakan asas dalam jiwa, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal) tidak dalam arti yang negative. Hal ini dibagi menjadi tiga:
                                 i.            Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya berpikir, bersifat teoritik yaitu mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan.
                               ii.            Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadhabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
                              iii.            Kesucian (‘iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.[5]


[1] Drs. H. A. Mustofa; filsafat islam, Bandung 2007, halaman 101
[2] Drs. Sudarsono, SH,M.Si; Filsafat Islam, Jakarta, 2010, halaman 24
[3] Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam, Bandung, 2009, halaman 61
[4] Drs. Sudarsono, SH,M.Si, Filsafat Islam, Jakarta; 2010, halaman 26
[5] Drs. Sudarsono,SH,M.Si, Filsafat Islam, Jakarta, 2010, halaman 29